Rabu, 09 Oktober 2013

Memberi Dengan Kasih



Manusia adalah pengelola. Segala sesuatu yang kita miliki sesungguhnya berasal dari Tuhan, meskipun kita bekerja untuk mendapatkannya. Oleh karena itu, marilah kita menyadari bahwa apa yang Tuhan percayakan kepada kita bukanlah untuk kita nikmati sendiri, melainkan juga untuk dibagikan kepada orang lain. Tuhan meminta kita untuk menjadi saluran kasih-Nya melalui pemberian kita. Maka dari itu, marilah kita menyediakan diri dengan penuh kerelaan dan sukacita dalam memberi, baik dalam pemberian secara materi maupun secara psikis.

SIKAP DALAM MEMBERI


Yesus Kristus adalah kasih. Dia adalah Allah yang Maha-murah dan suka memberi. Sebagai murid Yesus Kristus, orang Kristen sudah sewajarnya menjadi orang yang suka memberi. Dalam hal ini, pemberian tidak hanya terbatas pada bentuk materi, namun juga dalam bentuk-bentuk yang lain seperti Perhatian, Kasih, dan Penguatan.

Dalam hal memberi, kita perlu mengingat hal-hal berikut ini:

1.     Memberi adalah berkat bagi yang memberi dan yang menerima. Ketika kita dapat memberikan sesuatu kepada orang lain, itu berarti kita beroleh kasih karunia. Hal ini dinyatakan Paulus dalam 2 Korintus 8:4. Kita perlu belajar dari orang-orang Makedonia. Mereka "sangat miskin", namun mereka mau memberi dan menganggap kesempatan memberi sebagai "kasih karunia".

2.      Memberi memberikan peluang bagi kita untuk mencerminkan watak Allah. Allah adalah Pemberi (Yohanes 3:16; Roma 8:32; Filipi 2:5-8), itu sudah menjadi sifat Allah. Dan, sebagai orang Kristen, kita hendaknya berusaha meneladani Dia.

3.     Memberi dapat menumbuhkan persekutuan dan persaudaraan. Apabila kita bertindak sebagai mitra yang ikut ambil bagian dalam segi keuangan dengan murah hati dan rendah hati, maka kasih pun diperkuat. "Kasih karunia yang tak terkatakan" (2 Korintus 9:14-15) itulah yang mengikat kasih antara pemberi dan penerima.

4.    Memberi dapat menghasilkan kedewasaan. Oleh karena itu, hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini (2 Korintus 8:1,7; 2 Korintus 9:10).

5.     Memberi memungkinkan Allah untuk dapat memberi kepada si pemberi. Perjanjian Baru menekankan upah rohani dari hal memberi walaupun upah secara materi juga diberikan (Matius 6:19-21). Apa yang kita berikan menentukan apa yang akan kita terima (Lukas 6:38). Ketika kita memberi segala sesuatu dengan kasih, seperti kita melakukannya untuk Tuhan, kita akan semakin mengakui bahwa Tuhan adalah Allah yang memelihara (Filipi 4:19). Marilah kita menyimpan harta di surga dengan berbuat kebajikan dalam hal memberi (Filipi 4:17). Allah tidak berjanji akan memberikan semua hal yang kita minta. Akan tetapi, Ia akan memenuhi setiap kebutuhan kita, bukan setiap keinginan kita yang mementingkan diri sendiri. Selain itu, mari kita memberi karena dorongan kasih, bukan karena keinginan untuk mendapat imbalan. Tuhan Yesus menyuruh agar kita memberi "dengan tidak mengharapkan balasan" (Lukas 6:35). Dalam Perjanjian Lama, Allah berjanji untuk memberkati orang Israel secara materi karena kerelaan mereka untuk memberi dengan murah hati. Jadi, dalam hal ini yang terpenting adalah memberi dengan kasih, dengan kerelaan hati. Jika kita memberi supaya dapat menerima imbalan duniawi, kita telah memalsukan upah surgawi kita (Matius 6:2).

6.      Memberi dapat mendatangkan banyak hasil positif.
  1. Memberi menyebabkan orang mengucap syukur dan memuji (2 Korintus 9:11-13).
  2. Memberi menyebabkan orang bersukacita (Filipi 4:10).
  3. Memberi menyebabkan orang berdoa (Filipi 1:4-5).
  4. Memberi mendorong orang lain untuk memberi (2 Korintus 9:2).

"Adalah lebih berbahagia memberi daripada menerima." (Kisah Para Rasul 20:35) Itu sebabnya, kita harus mengatur apa yang kita miliki agar kita bisa memberikan sebagian untuk menolong sesama. Ada saatnya kita menerima, namun usahakan untuk lebih banyak menjadi pemberi.

7.       Memberi hendaknya dengan kerelaan hati. Syarat-syarat memberi yang benar bisa dilihat dalam Kitab Keluaran 13:1-16, 23:19 dan Imamat 27:30-32. Jangan pernah menggunakan harta yang Tuhan percayakan hanya untuk kepentingan diri sendiri, dan jangan pernah menipu Tuhan Allah (Maleakhi 3:8-10). Dalam hal memberi, bukan soal sepersepuluh dari yang kita terima, melainkan soal pemberian sukarela sebagai ungkapan kasih dan saling membantu (2 Korintus 8:8-9). Sepuluh persen merupakan titik awal yang baik untuk mendisiplin diri Anda.

8.     Memberi harus dengan sukacita dan rela hati (Ulangan 15:7-10 dan 2 Korintus 9:7). Ketika memberi, usahakan untuk melakukannya dengan tulus seperti melakukannya untuk Tuhan, dan sebagai bentuk ucapan syukur kita akan rahmat dan kasih-Nya kepada kita, bukan untuk maksud supaya tidak mendapat hukuman dari Tuhan. Jangan pernah menghakimi orang lain yang memberi lebih sedikit daripada yang kita pikir seharusnya dapat mereka berikan (Roma 14:4-5,10). Besarnya pemberian kita haruslah sebanding dengan penghasilan kita. Sepuluh persen merupakan jumlah yang baik sebagai permulaan. Namun, ketika kita digerakkan untuk memberi lebih dari sepuluh persen, itu jauh lebih baik. Dan, ketika kita berkekurangan, jangan merasa bahwa kita tidak bertanggung jawab untuk memberi atau berpikir bahwa pemberian kita tidak berarti (Lukas 21:1-4; 2 Korintus 8:11-12). Allah tertarik pada sikap hati, bukan pada besarnya pemberian.

9.   Memberi hendaknya dilakukan dengan murah hati (2 Korintus 9:6). Allah itu murah hati dan mengambil setiap kesempatan untuk mengungkapkan kemurahan hati-Nya. Alangkah senang hati Tuhan bila kita mencerminkan sifat-Nya.

10.  Memberi harus teratur dan sistematis (1 Korintus 16:2). Terkadang, antara niat dan tindakan tidak selalu sama atau sejalan. Oleh karena itu, perlu adanya disiplin mingguan. Walaupun tidak ada sesuatu yang universal mengenai peraturan memberi secara mingguan, merencanakan pemberian sangatlah penting.

11.    Memberi hendaknya tanpa pamer (Matius 6:1-4). Seperti biasanya, hal yang penting di mata Allah adalah motivasinya, bukan tindakannya.

Sebagai orang Kristen, bersediakah kita untuk memberi? Jika belum, ingatlah ayat-ayat di atas dan segeralah melakukannya sebelum terlambat.

Selasa, 08 Oktober 2013

Kepedulian Terhadap Yang Miskin

Nats : 
  • Amsal 14:31, Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia.
  •  Amsal 19:4, Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya.
  •  Amsal 28:27, Jika orang fasik mendapat kekuasaan, orang menyembunyikan diri, tetapi jika mereka binasa, bertambahlah jumlah orang benar.
Pendahuluan :
Orang percaya yang mengasihi Allah sudah semestinya bertambah kepedulinya terhadap mereka yang miskin.  Sebab  Allah menciptakan manusia sosial, bukan hanya untuk  peka terhadap terhadap orang miskin tetapi untuk berbagi kasih.  Dengan melakukan tanggung jawab “diakonia kualitatif”: menolong yang terjepit. 
Allah adalah kasih, Allah dikenal karena kasih, dan orang Kristen  membuktikan percayanya dengan mangasihi.   Orang percaya yang tidak peduli, menghina dan meninggalkan orang miskin telah memungkiri hakekatnya.  Orang yang percaya lalu berbagi kasih kepada yang miskin, telah memuliakan Allah dan menjalani kehidupannya dengan benar. 

A.    Allah Menciptakan Manusia Bukan Untuk Miskin Dan Tersesat,
Amsal 14:31, “Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia.”
Tuhan pada bagian ini tertarik kepada pribadi yang setiap saat berfikir memberikan perhatian, semangat, dan kebutuhan kepada yang miskin.
Allah memelihara dan tetap setia kepada orang yang miskin tidak berdaya.  Allah dapat saja memelihara secara langsung dan Allah memelihara orang lemah melalui orang yang lebih mampu menolongnya.
Ayub  31:15 “Bukankah Ia, yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu juga? Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim?”
Bagi Allah Tidak ada perbedaan antara orang kaya ataupun orang miskin dan Allah tetap memelihara hidup orang miskin yang karena bencana, korban perang atau keadaan yang memang miskin.  Sehingga manusia yang satu ciptaan Tuhan, dengan kepekaan sosialnya membantu yang kurang beruntung. Maka Tuhan memerintahakan umatnya yang mampu untuk memberikan bantuan kepada yang lapar.  Dan Tuhan akan memberikan upah kepada yang mengulurkan tangan kepada yang miskin. Dengan demikian yang memilih menghina orang miskin telah menghina siapa penciptanya.
  
B.    Kekayaan Memberikan Banyak Kesempatan, Amsal 19:4, 7,
Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya.
Orang miskin dibenci oleh semua saudaranya, apalagi sahabat-sahabatnya, mereka menjauhi dia. Ia mengejar mereka, memanggil mereka tetapi mereka tidak ada lagi.
Kekayaan menambah banyak sahabat, tetapi orang miskin ditinggalkan sahabatnya. Banyak orang berpendapat dan  melihat kemana kekuatan manusia  yang cinta akan uang, sebab mereka yang memiliki banyak uang,  makin banyak orang mencintainya, sebenarnya kemanakah semestinya manusia harus melayani?  Apakah manusia yang memiliki uang bebas menggunakan sekehendak hatinya? Sehingga mereka tidak mau menolong dengan bergantian untuk melayani.
Orang yang banyak kekayaannya dapat berkesempatan menjamu atau mengelola persahabatannya.  Tetapi yang miskin tidak dapat menolong dirinya.  Bila ingin menjamu sahabatnya, tidak ada yang untuk menjamunya.  Sehingga kebanyakan sahabatnya meninggalkannya. Penderitaan orang miskin diperparah oleh sikap sesamanya yang meninggalkannya.
Banyak orang selalu melihat manusia cinta pada satu pribadi yang memiliki kekayaan saja.  Dalam hatinya berkata: “Dia itu siapa, apakah dia orang yang memiliki kesempatan kaya, sehingga haruskankah aku  memberikan rasa hormat kepadanya?
Jikalau seseorang dalam keadaan tidak berpengharapan terhadap kekayaan dan dalam keadaan miskin, apakah untungnya memberi hormat kepada orang miskin?  Orang yang tidak punya masa depan dan tidak memberi keuntungan, hanya untuk dijauhi.  Sebab banyak orang terus-menerus mengejar pada yang dipandang menguntungkannya.
Amsal 19: 6- 7, “Banyak orang yang mengambil hati orang dermawan, setiap orang bersahabat dengan si pemberi._ Orang miskin dibenci oleh semua saudaranya, apalagi sahabat-sahabatnya, mereka menjauhi dia. Ia mengejar mereka, memanggil mereka tetapi mereka tidak ada lagi”.

Ada dua versi komentar pada bagian paparan ini :
  1.  Apa yang dapat diberikan atau bagian dermawan bila dibandingkan dengan apa yang dapat diterima orang miskin. Ada suatu kekuatan atau kuasa kepada tangan yang memberi seperti pangeran yang melindungi rakyatnya.   Suatu  tampilan yang baik memandu pilihan untuk menjadikan sahabat, dengan pemikiran kebahagiaan akan menerima pemberian ketika dekat dengan dermawan seperti dekat dengan sang pangeran yang baik dan peduli rakyatnya.  Pangeran bersempatan mendapat penghargaan karena  peduli kepada bawahan yang dalam tanggung-jawabnya.  Dan setiap manusia adalah teman ketika memberi dan menerima.  Lukas. 22:25.  Yesus berkata kepada mereka: "Raja-raja bangsa-bangsa memerintah rakyat mereka dan orang-orang yang menjalankan kuasa atas mereka disebut pelindung-pelindung.
  2. Bagaimana kepada mereka yang miskin dan mengalami ketidak berdayaan ekonomi? Manusia boleh saja mempertanyakan kepada pengadilan tinggi kerajaan, jika dirinya di injak hidupnya hanya karena miskin. Dan manusia tidak di ijinkan menindas orang yang karena kemiskinannya. Manusia  manapun tentu tidak boleh memijak atau menginjak atas orang miskin.  Ini juga diatur dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara maupun kerajaan.
C.    Suatu Janji Kepada Orang Yang Murah Hatinya.
Amsal 28:27, Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan, tetapi orang yang menutup matanya akan sangat dikutuki.
Ia tidak akan pernah berkekurangan. _ Suatu “Perhatian” kepada setiap yang mau berbagi terhadap orang kecil yang tidak berdaya.  Dan suatu “bahaya” yang mengancam bila seseorang tidak peduli kepada orang yang tidak berdaya, kondisi bahaya tersebut selalu ada di hadapan matanya. Karena meraka yang tidak peduli akan mengalami kekurangan. 
Suatu sejarah yang telah dinyatakan dalam diri Elia yang peduli dan memperhatikan Elia adalah seorang janda Sarfat dan merupakan suatu perhatian janda Sarfat kepada hamba Tuhan yang berkekurangan makanan di hadapan janda sarfat. 
Adalah “ancaman” bilamana: saat dengan sengaja ketika berpura-pura untuk tidak melihat (peduli), maka sesungguhnya ia tidak melihat tujuan Allah kepada orang miskin. Orang yang demikian telah memilih akibat dari perbuatan hati yang tidak peduli, yaitu terkutuk. 
Akibat ketidak pedulian menyebabkan bahwa ia telah memungkikiri hakekat manusia yang sesungguhnya yang telah diciptakan Allah sebagai makluk social untuk memiliki “kepekaan”. Suatu kondisi manusia dalam pikiran dan rencana Allah adalah berfungsi bagi sesama dengan terus berdoa (memiliki hubungan pribadi) dengan Allah yang terus prihatin dan berusaha menjawab dengan perhatian, dorongan dan bantuan bagi (sesama) yang miskin.

Implikasi :
Tuhan selalu peduli kepada orang yang lemah, miskin dan kurang beruntung dalam dunia ini.  Untuk itu Tuhan kembali memerintahkan umat-Nya agar mampu mengalahkan egoisnya untuk memperhatikan, menggumuli dan menjawab persolan kemiskinan. 
Gereja salah satu tugasnya adalah diakonia.  Diakonia yang berfungsi sebagai upaya mewujudkan kasih yang menyelenggarakan keseimbangan.  Supaya yang ditolong dapat berdaya agar dapat menolong yang kurang beruntung.  Diakonia yang bersifat estafet.  Dan menjadikan komunitas kerajaan Allah, dimana kasih dikedepankan.

PENUTUP :
Pesan Firman Tuhan hari ini mengarahkan kepada 2 (dua) hal utama:
  1.  Pertama, Allah membenci semua bentuk ketidak pedulian manusia akan tugas dan tanggung-jawab membaikkan kehidupan di keluarga besar (gereja denominasi). Dan di sekitarnya (masyarakat umum).
  2.  Kedua, Allah menginginkan agar orang percaya jangan sampai memungkiri hakekatnya dan dimurkai Tuhan, dengan tetap memperkaya diri tanpa peduli orang miskin di sekitarnya.


Jumat, 13 September 2013

Berbuah: Kasih



Ketika ada seseorang bertanya kepada Tuhan Yesus, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”, maka jawabannya adalah, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Lukas 10:27).

Hukum kasih inilah yang disebut Tuhan Yesus sebagai hukum yang terutama dan yang pertama. Maka, tidak bisa tidak, sebagai murid Kristus kehidupan kita pun harus berbuah dalam kasih. Tentang mengasihi Tuhan, saya sudah menuliskan dengan judul “Mengasihi Tuhan dengan segenap”, . ...Maka, saya ingin membahasa tentang mengasihi sesama dari sudut pandang Lukas 10:29-37.

  • (29) Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” 
  • (30) Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 
  • (31) Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 
  • (32) Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 
  • (33) Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 
  • (34) Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 
  • (35) Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. 
  • (36) Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” 
  • (37) Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Mungkin saat ini kita beranggapan bahwa apa yang ditanyakan oleh orang itu agak aneh, “Siapakah sesamaku manusia?”. Bagaimana orang ini bisa tidak tahu siapa sesamanya. Tetapi ingat bahwa dalam tradisi Yahudi waktu itu, ada kelas-kelas dalam kemanusiaan. Bagi bangsa Israel waktu itu, Yahudi adalah umat pilihan Allah, suku bangsa yang tertinggi, sementara bangsa lain adalah bangsa yang najis dan berdosa. Bahkan di dalam bangsa Yahudi sendiri ada penggolongan-penggolongan kelas sosial.

Itulah sebabnya dalam jawabannya Tuhan Yesus juga menguraikan penggolongan kelas-kelas ini, seperti seorang imam, seorang Lewi, dan seorang Samaria. Apakah orang Kristen sekarang ini juga jatuh dalam pertanyaan yang sama? Kehilangan makna sejati tentang sesama manusia. Jangan-jangan kita memandang sesama adalah mereka yang punya status sosial sama dengan kita. Ataukah kita juga sama dengan imam dan orang Lewi itu? Yang hanya ingin tahu, tapi memilih menjaga jarak, tanpa mau mengasihi, karena tidak mau direpotkan.

Memang, mengasihi pun ada harga dan resikonya. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan oleh orang Samaria itu untuk mengasihi, dengan harapan nol bahwa dia akan mendapat balasannya. Belum lagi ada pertanyaan, bagaimana jika para penyamun itu masih bersembunyi di dekat sana, dan juga merampok orang Samaria itu?
Tuhan Yesus menegaskan mengasihi sesama manusia ini dalam Matius 7:12, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka“.

Berbuah Dalam Pengertian Terhadap Kebenaran Firman

“Menjadi Kristen itu tidak perlu pintar-pintar, tidak usahlah terlalu mengerti Firman, yang penting percaya saya, dan lakukan Firman itu”. Pendapat ini sering diperdengarkan kepada umat Tuhan, sepertinya pandangan yang baik ya, tapi ini tidaklah benar.
Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa kita harus mengerti Firman Tuhan dengan sebaik-baiknya, karena dengan itulah kita bisa berbuah.

Mari baca dalam: Matius 13:19-23
  • (19) Kepada setiap orang yang mendengar firman tentang Kerajaan Sorga, tetapi tidak mengertinya, datanglah si jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu; itulah benih yang ditaburkan di pinggir jalan.
  • (20) Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira.
  • (21) Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itupun segera murtad.
  • (22) Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah.
  • (23) Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat.
Dalam ayat 23, jelas dikatakan bahwa orang yang berbuah itu adalah mereka yang mendengar Firman dan mengerti. Jadi, harus ada pengertian terhadap Firman Tuhan, kebenaran Firman yang Alkitabiah.
Saat kita tidak mau belajar dan tidak mau mengerti Firman, dan menerima apa saja yang diperdengarkan oleh pengkhotbah, kita tidak bisa membedakan mana Firman yang berisi kebenaran dan mana firman yang diisi pengajaran yang palsu. 

Ada beberapa hal yang bisa membuat kita salah mengerti firman.
Pertama, ayat 22 dengan tegas menyatakan bahwa kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan bisa menghalangi kita mengerti kebenaran Firman Tuhan. Hati-hati! Banyak pengajaran yang lebih sering memperkatakan kekayaan duniawi daripada kebenaran yang sejati dari Firman Allah itu sendiri.

Kedua, ayat 20-21
menunjukkan bahwa ketidak tahanan kita dalam menghadapai penindasan dan penganiayaan bisa membuat kita tidak mampu mendapat pengertian akan kebenaran Firman Tuhan. Penindasan dan penganiayaan pasti terjadi dalam hidup setiap orang percaya, tetapi bukan itu penyebabnya, melainkan bagaimana iman kita dan ketahanan kita dalam menghadapinya. Kalau sebagai orang Kristen, kita berpikir bahwa bahwa hidup kita akan selalu diberkati, mulus, dan tanpa hambatan, maka saat datang penindasan dan penganiayaan, kita tidak akan mampu berbuah — dan “murtad”.

Ketiga, ayat 19
menyatakan bahwa orang Kristen yang sudah tidak mau belajar untuk mengerti kebenaran  Firman Tuhan, pasti tidak akan berbuah.

Mari, izinkan Roh Kudus membaharui akal budi kita, sehingga kita mampu mengerti kebenaran Firman dan olehnya menjadi berbuah-buah.