Jumat, 13 September 2013

Berbuah: Kasih



Ketika ada seseorang bertanya kepada Tuhan Yesus, “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”, maka jawabannya adalah, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Lukas 10:27).

Hukum kasih inilah yang disebut Tuhan Yesus sebagai hukum yang terutama dan yang pertama. Maka, tidak bisa tidak, sebagai murid Kristus kehidupan kita pun harus berbuah dalam kasih. Tentang mengasihi Tuhan, saya sudah menuliskan dengan judul “Mengasihi Tuhan dengan segenap”, . ...Maka, saya ingin membahasa tentang mengasihi sesama dari sudut pandang Lukas 10:29-37.

  • (29) Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?” 
  • (30) Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 
  • (31) Kebetulan ada seorang imam turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. 
  • (32) Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu; ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan. 
  • (33) Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. 
  • (34) Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. 
  • (35) Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. 
  • (36) Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” 
  • (37) Jawab orang itu: “Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

Mungkin saat ini kita beranggapan bahwa apa yang ditanyakan oleh orang itu agak aneh, “Siapakah sesamaku manusia?”. Bagaimana orang ini bisa tidak tahu siapa sesamanya. Tetapi ingat bahwa dalam tradisi Yahudi waktu itu, ada kelas-kelas dalam kemanusiaan. Bagi bangsa Israel waktu itu, Yahudi adalah umat pilihan Allah, suku bangsa yang tertinggi, sementara bangsa lain adalah bangsa yang najis dan berdosa. Bahkan di dalam bangsa Yahudi sendiri ada penggolongan-penggolongan kelas sosial.

Itulah sebabnya dalam jawabannya Tuhan Yesus juga menguraikan penggolongan kelas-kelas ini, seperti seorang imam, seorang Lewi, dan seorang Samaria. Apakah orang Kristen sekarang ini juga jatuh dalam pertanyaan yang sama? Kehilangan makna sejati tentang sesama manusia. Jangan-jangan kita memandang sesama adalah mereka yang punya status sosial sama dengan kita. Ataukah kita juga sama dengan imam dan orang Lewi itu? Yang hanya ingin tahu, tapi memilih menjaga jarak, tanpa mau mengasihi, karena tidak mau direpotkan.

Memang, mengasihi pun ada harga dan resikonya. Berapa banyak uang yang harus dikeluarkan oleh orang Samaria itu untuk mengasihi, dengan harapan nol bahwa dia akan mendapat balasannya. Belum lagi ada pertanyaan, bagaimana jika para penyamun itu masih bersembunyi di dekat sana, dan juga merampok orang Samaria itu?
Tuhan Yesus menegaskan mengasihi sesama manusia ini dalam Matius 7:12, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka“.

Berbuah Dalam Pengertian Terhadap Kebenaran Firman

“Menjadi Kristen itu tidak perlu pintar-pintar, tidak usahlah terlalu mengerti Firman, yang penting percaya saya, dan lakukan Firman itu”. Pendapat ini sering diperdengarkan kepada umat Tuhan, sepertinya pandangan yang baik ya, tapi ini tidaklah benar.
Tuhan Yesus sendiri mengatakan bahwa kita harus mengerti Firman Tuhan dengan sebaik-baiknya, karena dengan itulah kita bisa berbuah.

Mari baca dalam: Matius 13:19-23
  • (19) Kepada setiap orang yang mendengar firman tentang Kerajaan Sorga, tetapi tidak mengertinya, datanglah si jahat dan merampas yang ditaburkan dalam hati orang itu; itulah benih yang ditaburkan di pinggir jalan.
  • (20) Benih yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu ialah orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira.
  • (21) Tetapi ia tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, orang itupun segera murtad.
  • (22) Yang ditaburkan di tengah semak duri ialah orang yang mendengar firman itu, lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah.
  • (23) Yang ditaburkan di tanah yang baik ialah orang yang mendengar firman itu dan mengerti, dan karena itu ia berbuah, ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat.
Dalam ayat 23, jelas dikatakan bahwa orang yang berbuah itu adalah mereka yang mendengar Firman dan mengerti. Jadi, harus ada pengertian terhadap Firman Tuhan, kebenaran Firman yang Alkitabiah.
Saat kita tidak mau belajar dan tidak mau mengerti Firman, dan menerima apa saja yang diperdengarkan oleh pengkhotbah, kita tidak bisa membedakan mana Firman yang berisi kebenaran dan mana firman yang diisi pengajaran yang palsu. 

Ada beberapa hal yang bisa membuat kita salah mengerti firman.
Pertama, ayat 22 dengan tegas menyatakan bahwa kekuatiran dunia dan tipu daya kekayaan bisa menghalangi kita mengerti kebenaran Firman Tuhan. Hati-hati! Banyak pengajaran yang lebih sering memperkatakan kekayaan duniawi daripada kebenaran yang sejati dari Firman Allah itu sendiri.

Kedua, ayat 20-21
menunjukkan bahwa ketidak tahanan kita dalam menghadapai penindasan dan penganiayaan bisa membuat kita tidak mampu mendapat pengertian akan kebenaran Firman Tuhan. Penindasan dan penganiayaan pasti terjadi dalam hidup setiap orang percaya, tetapi bukan itu penyebabnya, melainkan bagaimana iman kita dan ketahanan kita dalam menghadapinya. Kalau sebagai orang Kristen, kita berpikir bahwa bahwa hidup kita akan selalu diberkati, mulus, dan tanpa hambatan, maka saat datang penindasan dan penganiayaan, kita tidak akan mampu berbuah — dan “murtad”.

Ketiga, ayat 19
menyatakan bahwa orang Kristen yang sudah tidak mau belajar untuk mengerti kebenaran  Firman Tuhan, pasti tidak akan berbuah.

Mari, izinkan Roh Kudus membaharui akal budi kita, sehingga kita mampu mengerti kebenaran Firman dan olehnya menjadi berbuah-buah.